Kamis, 31 Desember 2009

Marxism

Marxism is a particular political philosophy, economic and sociological worldview based upon a materialist interpretation of history, a Marxist analysis of capitalism, a theory of social change, and an atheist view of human liberation derived from the work of Karl Marx and Friedrich Engels. The three primary aspects of Marxism are:

1. The dialectical and materialist concept of history — Humankind's history is fundamentally that of the struggle between social classes. The productive capacity of society is the foundation of society, and as this capacity increases over time the social relations of production, class relations, evolve through this struggle of the classes and pass through definite stages (primitive communism, slavery, feudalism, capitalism). The legal, political, ideological and other aspects (ex. art) of society are derived from these production relations as is the consciousness of the individuals of which the society is composed.

2. The critique of capitalism — In capitalist society, an economic minority (the bourgeoisie) dominate and exploit the working class (proletariat) majority. Marx uncovered the interworkings of capitalist exploitation, the specific way in which unpaid labor (surplus value) is extracted from the working class (the labor theory of value), extending and critiquing the work of earlier political economists on value. Although the production process is socialized, ownership remains in the hand of the bourgeoisie. This forms the fundamental contradiction of capitalist society. Without the elimination of the fetter of the private ownership of the means of production, human society is unable to achieve further development.

3. Advocacy of proletarian revolution — In order to overcome the fetters of private property the working class must seize political power internationally through a social revolution and expropriate the capitalist classes around the world and place the productive capacities of society into collective ownership. Upon this, material foundation classes would be abolished and the material basis for all forms of inequality between humankind would dissolve.

L'extentialisme est un humanisme

Existentialism is a Humanism (L'existentialime est un humanisme) is a 1946 philosophical work by Jean-Paul Sartre. It is seen by many as one of the defining texts in the Existentialist movement.

In his text, Sartre says that the key defining point of Existentialism is that the existence of a person comes chronologically before his or her essence. In simple terms, this means that, although that person exists, there is nothing to dictate that person's character, goals in life, and so on. Only the person himself can define his essence:

Man first of all exists, encounters himself, surges up in the world - and defines himself afterwards.

Thus, Sartre rejects what he calls "deterministic excuses" and claims that all people must take responsibility for their behaviour. Sartre defines angst and despair as the emotions people feel once they come to the realize that they are responsible for all of their actions. He also describes forlorness as loneliness atheists feel when they realize that they are all alone, that there is no God to watch over them. This is associated with despair and angst.

The essay has been criticized by some for giving only a superficial overview of the themes of existentialism, and Sartre himself has called its undeveloped morality an "error".

"Existentialism is a Humanism" was also the title of a lecture he gave to a packed audience at Club Maintenant in Paris, on October 29th, 1945. The book is based on the lecture.

Semiotics

Semiotics, also called semiotic studies or semiology, is the study of sign processes (semiosis), or signification and communication, signs and symbols, and is usually divided into three branches:

* Semantics: Relation between signs and the things to which they refer; their denotata
* Syntactics: Relations among signs in formal structures
* Pragmatics: Relation between signs and their effects on those (people) who use them

Semiotics is frequently seen as having important anthropological dimensions; for example, Umberto Eco proposes that every cultural phenomenon can be studied as communication. However, some semioticians focus on the logical dimensions of the science. They examine areas belonging also to the natural sciences – such as how organisms make predictions about, and adapt to, their semiotic niche in the world (see semiosis). In general, semiotic theories take signs or sign systems as their object of study: the communication of information in living organisms is covered in biosemiotics or zoosemiosis.

Rabu, 30 Desember 2009

Pandangan Progesivisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan

Aliran filsafat progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan pada abad ke-20, di mana telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebebasan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya, tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain, Oleh karena itu filsafat progresivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik.

Adapun filsafat progresivisme memandang tentang kebudayaan bahwa budaya sebagai hasil budi manusia, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak beku, melainkan selalu berkembang dan berubah. Maka pendidikan sebagai usaha manusia yang merupakan refleksi dari kebudayaan itu haruslah sejiwa dengan kebudayaan itu. Untuk itu, pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi kebudayaan baru haruslah dapat menciptakan situasi yang edukatif yang pada akhimya akan dapat memberikan warna dan corak dari output (keluaran) yang dihasilkan sehingga keluaran yang dihasilkan (anak didik) adalah manusia-manusia yang berkualitas unggul, berkompetitif, insiatif, adaptif dan kreatif sanggup menjawab tantangan zamannya.
Untuk itu, sangat diperlukan kurikulum yang berpusat pada pengalaman atau kurikulum eksperimental, yaitu kurikulum yang berpusat pada pengalaman, di mana apa yang telah diperoleh anak didik selama di sekolah akan dapat diterapkan dalam kehidupan nyatanya. Dengan metode pendidikan "Belajar Sambil Berbuat" (Learning by doing) dan pemecahan masalah (Problem solving) maka anak dapat membuat langkah-langkah menghadapi problem serta mengajukan hipotesa.

Dengan berpijak dari pandangan di atas maka sangat jelas sekali bahwa filsafat progresivisme bermaksud menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus maju (progress) sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru.
Landasan filosofis pembelajaran IPA terpadu ialah filsafat pendidikan Progresivisme yang dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti John Dewey, William Kilpatrick, George Count, dan Harold Rugg diawal abad 20. Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar "naturalistik", hasil belajar "dunia nyata" dan juga pengalaman teman sebaya.

Asal Mula Aliran Progresivisme

Progresivisme merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika Serikat sekitar abad ke-20. John S. Brubaeher, mengatakan bahwa filsafat progresivisme bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang di perkenalkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1885 1952), yang menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup praktis. Didalam banyak hal progresivisme identik dengan pragmatisme.

Filsafat progresivisme sama dengan pragmatisme. Pertama, filsafat progresivisme atau pragmatisme ini merupakan perwujudan dan ide asal wataknya. Artinya filsafat progresivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisme di mana telah memberikan konsep dasar dengan azas yang utama yaitu manusia dalam hidupnya untuk terus survive (mempertahankan hidupnya) terhadap semua tantangan, dan pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya. Oleh karena itu, filsafat progresivisme tidak mengakui kemutlakan kehidupan, menolak absolutisme dan otoriterisme dalam segala bentuknya. Nilai-nilai yang dianut bersifat dinamis dan selalu mengalami perubahan, sebagaimana dikembangkan oleh lmanuel Kant, salah seorang penyumbang pemikir pragmatisme-progresivisme yang meletakkan dasar dengan penghormatan yang bebas atas martabat manusia dan martabat pribadi. Dengan demikian filsafat progresivisme menjunjung tinggi hak asasi individu dan menjunjung tinggi akan nilai demokratis. Sehingga progresivisme dianggap sebagai The Liberal Road of Culture (kebebasan mutlak menuju kearah kebudayaan), maksudnya nilai-nilai yang dianut bersifat fleksibel terhadap perubahan, toleran dan terbuka (open minded). Dan menuntut pribadi-pribadi penganutnya untuk selalu bersikap penjelajah, peneliti, guna mengembangkan pengalamannya. Mereka harus memiliki sikap terbuka dan berkemauan baik sambil mendengarkan kritik dan ide-ide lawan sambil memberi kesempatan kepada mereka untuk membuktikan argumen tcrsebut.

Filsafat progresivisme menuntut kepada penganutnya untuk selalu progress (maju) bertindak secara konstruktif, inovatif dan reformatif, aktif serta dinamis. Sebab sudah menjadi naluri manusia selalu menginginkan perubahan-perubahan. Manusia tidak mau hanya menerima satu macam keadaan saja, akan tetapi berkemauan hidupnya tidak sama dengan masa sebelumnya. Untuk mendapatkan perubahan itu manusia harus memiliki pandangan hidup di mana pandangan hidup yang bertumpu pada sifat-sifat: fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh doktrin tertentu), curious (ingin mengetahui dan menyelidiki), toleran dan open minded (punya hati terbuka).
Namun demikian filsafat progresivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah manusia, kekuatan yang diwarisi manusia sejak lahir (man's natural powers). Maksudnya adalah manusia sejak lahir telah membawa bakat dan kemampuan (predisposisi) atau potensi (kemampuan) dasar terutama daya akalnya sehingga dengan daya akalnya manusia akan dapat mengatasi segala problematika hidupnya, baik itu tantangan, hambatan, ancaman maupun gangguan yang timbul dari lingkungan hidupnya. Sehubungan dengan itu, Wasty Soemanto menyatakan bahwa daya akal sama dengan intelegensi, di mana intelegensi menyangkut kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal atau dalam pemecahan-pemecahan masalah. Di sini•tersirat bahwa intelegensi merupakan kemampuan problem solving dalam segala situasi baru atau yang mengandung masalah. Dengan demikian potensi-potensi yang dimiliki manusia mempunyai kekuatan-kekuatan yang harus dikembangkan dan hal ini menjadi perhatian progresivisme. Pada kesimpulannya, aliran filsafat progresivisme menempatkan manusia sebagai makhluk biologis yang utuh dan menghormati harkat dan martabat manusia sebagai pelaku (subyek) di dalam hidupnya.

Progresivisme

Progresivisme berasal dari kata bahasa Inggris yaitu progressive yang berarti maju. Sehingga dapat diartikan bahwa progresivisme merupakan aliran filsafat yang menghendaki kemajuan di dalam berbagai bidang, terutama pendidikan. Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya.

Progresivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori. Progressivisme dinamakan environmentalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian.

Teori progresivisme mengutamakan kegiatan belajar yang dilakukan melalui kerjasama dan partisipasi dalam kelompok, serta melalui penyesuaian yang dilakukan peserta didik terhadap lingkungan sosialnya. Pendidikan nonformal, menurut teori progresivisme, merupakan proses pengembangan sumber daya manusia yang terjadi dalam suatu kesatuan lingkungan dan sekaligus merupakan upaya pembaharuan pengalaman yang dilakukan secara berlanjut.

Hak Atas Pendidikan

Hak atas pendidikan adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Bahkan , ia merupakan salah satu amanat utama dari pembentukan dan pendirian negara Republik Indonesia yang merdeka, sebagaimana yang tercantum di dalam UUD 1945.

Menurut Katarina Tomasevski, mantan Special Rapporteur PBB di bidang hak atas pendidikan, hak asasi manusia adalah penjaga dari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh negara, termasuk di bidang pendidikan, yang dilakukan oleh pemerintah. Pengingkaran terhadap hak atas pendidikan, menjadi penyebab tereksklusikannya seseorang dari kesempatan kerja. Marginalisasi ke sektor informal, yang dibarengi dengan eksekusi dari skema jaminan sosial dan lain sebagainya. Mengatasi ketimpangan sosial ekonomi dan kesempatan mencari penghidupan yang layak, tidak mungkin dilakukan tanpa mengakui dan memenuhi hak atas pendidikan. Demikian pula banyak problem sosial, ekonomi, budaya dan politik yang tidak dapat dipecahkan, kecuali dengan menyelesaikan persoalan hak atas pendidikan ini, sebagai kunci untuk membuka pemenuhan hak-hak asasi mausia di bidang ekonomi, sosial da budaya lainnya, termasuk hak sipil dan politik. (Tomasevski, 2003:32-33)

Amanat luhur kebangsaan Indonesia tentang hak atas pendidikan secara jelas dinyatakan dalam Pasal 31 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hasil amandemen , ayat (1) bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan di dalam ayat (2)m dinyatakan , “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Amanat ini ditegaskan lagi dalam UUD 1945, Pasal 28 C yang berbunyi, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.

Pendidikan sebagai hak asasi manusisa ini lebih spesifik dinyatakan di dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), pasal 12 tyang berbunyi, “Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk meperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia, dans ejahtera sesuai dengan hak asasi”.

UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, Bab III, Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 4, menyatakan, “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi”. Sedangkan di dalam Pasal 11 dinyatakan: (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, dan (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana gunaterselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun.

Hak atas pendidikan juga merupakan hak sipil dan politik yang harus dilindungi, dipenuhi, dan dihormati oleh negara, antara lain termuat di dalam pasal 18 ayat 4, Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang menyatakan, “Negara-negara pihak pada konvenan ini berjanji untuk meghirmati kebebasan orang tua dan, jika ada, wali yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri”.

Ada perbedaan antara huma-rights dengan human-capital approaches dalam pembangunan. Human Development Report 2000 mengakui bahwa meskipun terdapat persamaan ciri-ciri antara indikator pembaghunan manusia dan indikator hak asasi manusia, kedua indikator ini juga memeiliki beberapa perbedaan yang sighnifikan. Secara ringkas indikator pembangunan mengukur kemajuan menuju perkembangan serta pertumbuhan dan bukan hak. Sebuah indikator hak-hak asasi manusia adalah sebuah alat untuk menentukan hingga sejauh mana suatu pemerintahan memenuhi kewajiban-kewajibannya berdasarkan undang-undang hak asasi manusia. (Chapman, 2003:65)

HAK ATAS PENDIDIKAN SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA

Cita-cita luhur para pendiri republik ini, 60 tahun yang lalu, yang dipaterikan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia merupakan amanat bangsa yang harus ditunaikan. Cita-cita ini kemudian menjelma menjadi kewajiban konstitusi bagi negara untuk memenuhinya, sebagaimana yang tercantum di dalam UUD 1945 pasal 31, ayat 3: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur di dalam undang-undang”.

Kewajiban konstitusi ini secara khusus mengamanatkan kepada negara untuk memprioritaskan penyediaan anggaran pendidikan, sesuai dengan keluhuran cita-cita kemerdekaan dan pendirian negara. Kewajiban konstitusi tersebut dengan jelas dinyatakan di dalam UUD 1945, pasal 31, ayat 4: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”

Dihadapkan dengan realitas sosial historial masyarakat Indonesia di bidang pendidikan pada saat ini, maka cita-cita luhur tersebut bukannya semakin mendekat, bahkan nampak semakin menjauh. Demikian pula cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan sila kelima dari Pancasila, termasuk dalam keadilan pendidikan semakin memprihatinkan.

Meningkatnya beban masyarakat atas semakin mahalnya biaya pendidikan yang mengakibatkan tidak terjangkaunya pendidikan oleh sebagian anggota masyarakat telah menyebabkan terlantarnya anak-anak usia sekolah di beberapa daerah di Indonesia tanpa memperoleh pelayanan pendidikan yang memadai. Demikian pula, rusak dan tidak terawatnya gedung-gedung sekolah dasar menyebabkan anak-anak tidak dapat melakukan kegiatan belajar dengan tenang dan nyaman . Situasi ketidaktersediaan fasilitas pendidikan secara memadai ini lebih menyedihkan di daerah konflik maupun tertimpa bencana. Kebijakan pemerintah tentang evaluasi tahap akhir belajar, status guru dan kebijakan dan praktek-praktek komersialisasi perbukuan akhir-akhir ini semakin meresahkan masyarakat. Situasi seperti ini menyebabkan terjadinya problem availability, accessability, acceptability, dan adaptability dalam pendidikan.

Problem ketersediaan dan keterjangkauan akhir-akhir ini menjadi keprihatinan masyarakat luas, baik pada peringkat dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi. Data dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) 2005 yang dikutip oleh B. Herry Priyono, untuk periode 2003-2004, dari total 816.834 ruang kelas Sekolah Dasar (SD) negeri, sebanyak 417.050 (57,67 persen) rusak. Dari total 138.742 ruang kelas Sekolah Menengah Pertama (SMP) negeri, 22.621 (16,3 pesen) rusak. Pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), sebanyak 5,40 persen rusak (2.589 dari total 47.913 jumlah kelas). Tentu seperti statistik-statistik lainnya mengenai gejala buram di Indonesia, angka itu perlu dibaca secara konservatif.(Priyono, 2005)

Sedangkan tentang masalah masih tingginya angka putus sekolah, data dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbsng) Depdiknas menunjukkan bahwa pada tahun 2002 belum semua anak usia 7-15 tahun dapat menggunakan haknya untuk belajar di SD/MI dan SMP/MTs. 98,27 % anak usia 7-12 tahun (Usia SD/MI) yang berjumlah 25,636 juta anak yang bersekolah di SD/MI, dan baru 79,07 % dari seluruh anak usia 13-15 tahun (usia SMP/MTs) yang berjumlah 12,888 juta yang bersekolah di SMP/MTs . Menurut Dodi Handika, dapat dipastikan kendala utama masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya adalah besarnya biaya pendidikan, termasuk pendidikan dasar dan menengah. (Nandika, 2004:46)

Problem accessibility secara ekonomi, yang menjadi keprihatinan masyarakat luas, bahkan telah menyebabkan terjadinya marginalisasi kelompok miskin adalah menguatnya arus “privatisasi pendidikan” dengan melakukan “komodifikasi pendidikan” yang menyebabkan pendidikan menjadi semakin mahal, sehingga tidak terjangkau masyarakat luas, terutama kelompok miskin. Hal ini terjadi antara lain karena akibat dari legalnya komersialisasi pendidikan dengan modus operandinya. Negara sebagai pembendungan terhadap ekspansi kapitalisme global ke dunia pendidikan. Sehingga produk perundang-undangan yang semestinya bersifat melindungi untuk pemerataan pendidikan bagi warga negara, belum terumuskan secara efektif. (Priyono, op cit)

Sinyaleleman tentang munculnya neo-liberalisme dalam wajah pendidikan ini juga dinyatakan oleh Indira Permatasari, di dalam tulisannya yang bertajuk “Pendidikan Dasar Gratis Sudah Saatnya Diberlakukan”, ketika mengemukakan bahwa tidak jarang pemerintah mengeluarkan ungkapan bahwa masyarakat harus diberdayakan, termasuk membayar sendiri pendidikannya.(Kompas, 2005:39). Bahkan panel diskusi yang diselenggarakan Harian Kompas dalam rangka menyambut hari Pendidikan Nasional 2005 yang bertajuk “Menagih Tanggung Jawab Negara dalam Pemberdayaan (Pembeayaan) Pendidikan”, mensinyalir bahwa kini terdapat kecenderungan dunia pendidikan kita ramai-ramai terjebak ke arah komersialisasi. Pendidikan kini sudah menjadi sebuah komoditas yang di-“perjualbeli”-kan.(Kompas, 2005:37). Kecenderungan privatisasi, komersialisasi dan komodifikasi pendidikan ini sangat merugikan masyarakat luas, mejauhkan dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan berlawanan dengan konstitusi serta hakekat pendidikan sebagai hak asasi manusia yang harus dihormati, dipenuhi dan dilindungi oleh negara.

Dasar Pemerataan Pendidikan di Indonesia

Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Karena itu, Pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yang mewajibkan Pemerintah bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum. Pendidikan menjadi landasan kuat yang diperlukan untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan, bahkan lebih penting lagi sebagai bekal dalam menghadapi era global yang sarat dengan persaingan antarbangsa yang berlangsung sangat ketat. Dengan demikian, pendidikan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi karena ia merupakan faktor determinan bagi suatu bangsa untuk bias memenangi kompetisi global.

Sejak tahun 1984, pemerintah Indonesia secara formal telah mengupayakan pemerataan pendidikan Sekolah Dasar, dilanjutkan dengan wajib belajar pendidikan sembilan tahun mulai tahun 1994. Upaya-upaya ini nampaknya lebih mengacu pada perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan (dimensi equality of access). Di samping itu pada tahapan selanjutnya pemberian program beasiswa (dimensi equality of survival) menjadi upaya yang cukup mendapat perhatian dengan mendorong keterlibatan masyarakat melalui Gerakan Nasional Orang Tua Asuh. Program beasiswa ini semakin intensif ketika terjadi krisis ekonomi, dan dewasa ini dengan Program BOS untuk Pendidikan dasar. Hal ini menunjukan bahwa pemerataan pendidikan menuntut pendanaan yang cukup besar tidak hanya berkaitan dengan penyediaan fasilitas tapi juga pemeliharaan siswa agar tetap bertahan mengikuti pendidikan di sekolah.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004 (TAP MPR No. IV/MPR/1999) mengamanatkan, antara lain: 1) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti, 2) meningkatkan mutu lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk menetapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmupengetahuan, teknologi, olah raga dan seni.

Sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Para pendiri bangsa meyakini bahwa peningkatan taraf pendidikan merupakan salah satu kunci utama mencapai tujuan negara yakni bukan saja mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga menciptakan kesejahteraan umum dan melaksanakan ketertiban dunia. Pendidikan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan bangsa serta memberi kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial. Pendidikan akan menciptakan masyarakat terpelajar (educated people) yang menjadi prasyarat terbentuknya masyarakat yang maju, mandiri, demokratis, sejahtera, dan bebas dari kemiskinan.

Pemerataan Pendidikan

Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat perhatian, terutama di negara-negara sedang berkembang. Hal ini tidak terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all.

Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting yaitu Equality dan Equity. Equality atau persamaan mengandungn arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan , sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama diantara berbagai kelompok dalam masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk usia sekolah telah memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan secara sama.

Coleman dalam bukunya Equality of educational opportunity mengemukakan secara konsepsional konsep pemerataan yakni : pemerataan aktif dan pemerataan pasif. Pemerataan pasif adalah pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif bermakna kesamaan dalam memberi kesempatan kepada murid-murid terdaptar agar memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya (Ace Suryadi , 1993 : 31). Dalam pemahaman seperti ini pemerataan pendidikan mempunyai makna yang luas tidak hanya persamaan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, tapi juga setelah menjadi siswa harus diperlakukan sama guna memperoleh pendidikan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dapat berwujud secara optimal.

Dengan demikian dimensi pemeratan pendidikan mencakup hal-hal yaitu equality of access, equality of survival. equality of output, dan equality of outcome. Apabila dimensi-dimensi tersebut menjadi landasan dalam mendekati masalah pemerataan pendidikan, nampak betapa rumit dan sulitnya menilai pemerataan pendidikan yang dicapai oleh suatu daerah, apalagi bagi negara yang sedang membangun dimana kendala pendanaan nampak masih cukup dominan baik dilihat dari sudut kuantitas maupun efektivitas.

Eksistensi Tari Kecak di Era Globalisasi

Tari Kecak terus mengalami perubahan dan perkembangan sejak tahun 1970an. Perkembangan yang biasa adalah dari segi cerita dan pementasan. Dari segi cerita untuk pementasan tidak hanya berpatokan pada satu bagian dari Ramayana, akan tetapi bagian cerita yang lain dari Ramayana.

Kemudian dari segi pementasan, saat ini pementasan Tari Kecak tidak hanya berada di satu tempat seperti Desa Bona, Gianyar namun juga desa-desa yang lain di Bali mulai mengembangkan Tari Kecak, sehingga diseluruh Bali terdapat puluhan grup Kecak, dimana anggotanya biasanya anggota Banjar. Kegiatan-kegiatan festival Tari Kecak juga sering dilaksanakan di Bali baik oleh pemerintah maupun oleh sekolah seni yang ada di Bali. Serta dari jumlah penari terbanyak yang pernah dipentaskan dalam Tari Kecak tercatat pada tahun 1979 diamana melibatkan 500 orang penari. Pada saat itu dipentaskan Kecak dengan mengambil cerita dari Mahabarata. Namun rekor ini dipecahkan oleh pemerintah Kabupaten Tabanan yang menyelenggarakan Kecak Kolosal dengan 5000 orang penari pada tanggal 29 September 2006, di Tanah Lot, Tabanan, Bali.

Salah satu upaya pemerintah Tabanan, Bali, untuk mengembangkan Tari Kecak sehingga lebih dikenal di dalam maupun luar negeri adalah dengan adanya program CAKolosal, yaitu sebuah gagasan penting yang memiliki dimensi spiritual, budaya, dan ekonomi dimana momentum penyelenggaraannya diharapkan menjadi pemantik terbentuknya semangat, inisiatif dan kebersamaan guna menggulirkan dinamika pembangunan berbasis masyarakat yang kini tengah diperlukan. Penggalian ini diyakini juga sebagai pemberdayaan local genius yang akan melandasi sebuah pembangunan berkelanjutan secara bijak.

Tari kecak dalam era globalisasi seperti saat ini bukannya menjadi tenggelam ditelan zaman dan teknologi akan tetapi eksistensinya tetap berkumandang di seluruh dunia. Apalagi Bali yang dikenal dengan sebutan Pulau Dewata yang banyak dikunjungi oleh banyak wisatawan mancanegara, tentunya tidak menjadi hal yang sulit untuk memperkenalkan dan mempopulerkan Tari Kecak ke seluruh dunia.

Eksistensi Tari Kecak di mancanegara terbukti dengan tampilnya tari kecak di beberapa Negara, seperti :
1.Tampilnya Tari Kecak di Lebanon Selatan pada hari Sabtu, 10 Maret 2007 oleh 80 prajurit TNI. Acara ini mengundang tepuk tangan para tamu undangan dari kontingen Malaysia, Nepal, dan Spanyol.
2.Pagelaran Tari Kecak yang ditampilkan di Moskow pada 17 Agustus 2005, yang merebut perhatian banyak kalangan, termasuk para diplomat asing yang berada di ibu kota Rusia. Banyak diplomat di Moskow yang meminta agar Tari Kecak ini di adakan kembali.
Dua contoh di atas menunjukkan bahwa tari Kecak sudah sangat populer di mancanegara sampai-sampai membuat semua penontonnya terpikat dan ketagihan untuk menyaksikan Tari Kecak. Hal ini juga tidak lepas dari partisipasi pemerintah dan para duta besar yang di tempatkan di luar negeri untuk ikut mempopulerkan Tari Kecak.

Selain contoh di atas, saat ini makin banyak wisatawan asing yang mempelajari Tari Kecak ini, dan mencoba untuk ikut menarikannya.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Tari Kecak

Tari Kecak merupakan salah satu bentuk dari tari Babali yaitu tari-tarian yang dapat dipersembahkan dalam rangkaian upacara Panca Yajna, maupun hanya sebagai hiburan.

Tari Kecak dipandang dari sejarahnya berasal dari Tari Sanghyang, yang biasanya berfungsi sebagai sarana pengusir penyakit dan juga sebagai sarana pelindung masyarakat Bali terhadap ancaman kekuatan jahat, tentunya mengandung banyak nilai-nilai, baik dalam filsafat maupun seni budaya. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam Tari Kecak adalah,
1.Nilai Religius
Masyarakat Bali mempercayai Tari Kecak sebagai salah satu tarian ritual memanggil dewi untuk mengusir penyakit dan juga sebagai sarana pelindung dari kekuatan jahat. Dalam hal ini masyarakat Bali sangat mempercayai Dewinya untuk melindungi dirinya dari ancaman-ancaman. Dewi yang biasanya dipanggil dalam ritual ini adalah Dewi Suprabha atau Tilotama.

2.Nilai Estetika
Dalam sebuah karya seni pastilah mempunyai nilai estetika atau keindahan. Hal ini dapat kita lihat dari gerakan penari Kecak, kekompakan semua penarinya. Keselarasan antara lagu dan gerakan yang terlihat sangat ritmis meskipun tanpa alat musik apapun.
Di dalam perkembangannya Tari Kecak tidak hanya sebagai tarian suci atau sakral seperti di atas, akan tetapi juga menjadi sebuah drama tari pertunjukan yang menceritakan kisah Ramayana maupun Mahabarata. Hal ini tentunya juga berpengaruh pada nilai-nilai yang ingin disampaikan pada penikmat Tari Kecak.

Filsafat hitam-putih yang ada dalam Epos Ramayana juga semakin memperjelas nilai-nilai yang terkandung dalam Tarian Kecak. Karena dalam Epos Ramayana diperlihatkan secara jelas antara yang baik dan yang buruk, berbeda dengan Epos Mahabarata, yang merupakan filsafat abu-abu. Adapun nilai-nilai yang terkandung adalah:
1.Nilai religius
Nilai religius terlihat jelas pada adegan tiga, dimana Rama memohon pertolongan pada Dewata. Hal ini menunjukkan bahwa dalam cerita tersebut sangat mempercayai kekuatan Tuhan untuk menolong dirinya. Orang Bali yang sangat menjaga nilai adat dan religi dalam tarian itu maka penari perempuan haruslah memakai kemben (baju adapt Bali) bukan telanjang dada seperti para penari prianya. Jadi penari perempuan belum pernah dipasang pada posisi pasukan kera.

2.Nilai moral
Dalam adegan-adegan Tari Kecak yang mengambil cerita Ramayana terdapat banyak sekali nilai-nilai moral yang dihadirkan. Seperti, kesetiaan Shinta pada suaminya (Rama), kesetiaan Laksmana pada kakaknya. Nilai moral juga terlihat pada Burung Garuda yang ingin menolong Shinta dari cengkeraman Rahwana sampai ia mengorbankan sayapnya. Dalam cerita tersebut Rahwana sebagai pemegang sifat buruk, tamak, serakah, dan sebagainya ia bahkan mengambil apa yang bukan miliknya secara paksa. Kesetiaan juga terlihat pada adik kandung Rahwana yang bernama Kumbakarna, meskipun ia tidak menyukai tindakan kakaknya akan tetapi ia tetap membantu kerajaannya berperang melawan pasukan Rama sebagai bukti kesetiaannya pada negara.

3.Nilai estetika
Gerakan Tari kecak yang sangat indah dan sangat khas dan unik menjadi alasan saya menjadikannya sebagai sebuah nilai estetika. Selain itu, unsur gerak dan bunyi yang menjadi ciri khas Tarian Kecak merupakan bagian yang paling sederhana yang dilakukan secara seragam dan bersamaan sehingga menjadi filosofi penting atas terjadinya persaudaraan yang universal.

Pola Tari Kecak

Sebagai suatu pertunjukan Tari Kecak didukung oleh beberapa faktor yang sangat penting, lebih-lebih dalam pertunjukan Tari Kecak ini menyajikan tarian sebagai pengatar cerita, tentu musik sangatlah penting untuk mengiringi lenggak-lenggok penari. Namun dalam Tari Kecak musik dihasilkan dari perpaduan suara anggota “cak” yang berjumlah sekitar 50-70 orang hingga ratusan bahkan ribuan orang semuanya akan membuat musik secara akapela. Seorang akan bertindak sebagai pemimpin yang memberikan nada awal, seorang lagi bertindak sebagai penekan yang bertugas memberikan tekanan nada tinggi atau renda. Seorang bertindak sebagai penembang solo dan seorang lagi akan bertindak sebagai ki dalang yang mengantarkan alur cerita. Penari dalam Tari Kecak gerakannya tidak mesti mengikuti pakem-pakem tari yang diiringi oleh gamelan. Jadi dalam Tari Kecak ini gerak tubuh penari lebih santai karena yang diutamakan adalah jalan cerita dan perpaduan suara.

Tari Kecak

Tari Kecak atau Cak merupakan tarian yang berasal dari salah satu bagian Tari Sanghyang. Tari Kecak ini pertama kali dilakukan sekitar tahun 1930, tarian ini sangat unik karena tidak diiringi dengan musik Bali atau gamelan seperti halnya tarian yang lain, lagunya diambil dari ritual tarian Sanghyang kuno. Tari Kecak ditarikan oleh lebih dari 50 orang bahkan sampai ratusan maupun ribuan dan kebanyakan penarinya adalah laki-laki. Kata Kecak berasal dari kata “cak” yang diucapkan secara beramai-ramai. Pakaian para penari Kecak hanyalah sehelai kain yang dicawatkan, dan bagian badan atas tidak memakai apa-apa. Mereka membuat lingkaran beberapa saf dan di tengah-tengah mereka terdapat lampu penerang. Semula mereka hanyalah menggerak-gerakkan badan mereka ke kiri dan ke kanan secara ritmis sambil mengucapkan kata-kata “cak-cak-cak-cak” dan seterusnya dengan irama yang agak lambat, lama kelamaan iramanya menjadi cepat, dan dengan disertai angkatan tangan yang digetar-getarkan. Dalam suasana yang demikian ini, dibarengi pula suara-suara desis seperti suara kera atau raksasa. Dalam saat-saat tertentu penari-penari Kecak yang setengah lingkaran merebahkan diri ke belakang secara serentak dan dilakukan bergantian. Selain para penari Kecak itu, ada pula para penari lain yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana, seperti Rama, Shinta, Rahwana, Hanoman, Sugriwa, Laksmana, Megananda, Jatayu, Kumbakarna.

Asal mula Tari Kecak tidak diketahui secara pasti darimana tarian Kecak berasal dan darimana pertama kali berkembang, namun ada suatu macam kesepakatan pada masyarakat Bali, Kecak pertama kali berkembang menjadi seni pertunjukan di Bona dan Gianyar. Pada tahun 1930an artis dari desa Bona dan Gianyar mencoba untuk mengembangkan tarian Kecak yang tang awalnya hanya untuk mengiringi tarian Sanghyang, dengan mengambil cerita Ramayana yang didramatarikan sebagai pengganti Tari Sanghyang sehingga tarian ini akhirnya bisa dipertontonkan di depan umun sebagai senipertunjukan.

Hanya sekedar pengetahuan, Tari Sanghyang merupakan tari kedewian di Bali yang biasanya dipakai sebagai sarana pengusir penyakit yang menjalar (epidemi). Apabila di Bali terjadi wabah penyakit atau epidemi, mulailah di mana-mana diselenggarakan Tari Sanghyang. Tari Sanghayang adalah tarian trance, sebab pada waktu penari itu kemasukan dewi, ia tak sadarkan diri. Tari ini selain dipakai sebagai penolak wabah penyakit juga dipakai sebagai sarana pelindung masyarakat Bali terhadap ancaman kekuatan-kekuatan jahat yang ditimbulkan oleh magi hitam.

Insitut Panyaro

Pada tahun 1981 Institut Panyaro untuk Promosi Tatacara Teh didirikan oleh master teh Chae Won-hwa untuk menghidupkan karya besar dari seorang master teh Korea, biksu Hyodang yang menghabiskan 60 tahun hidupnya untuk menyebarkan pengajaran Buddhisme dengan didikan master spiritual Korea, Biksu Wonhyo dengan menerapkan metode tatacara teh untuk meditasi.

Hyodang berkontribusi dalam 3 jenis tatacara teh: ia menerbitkan buku tentang tatacara teh Korea berjudul “Tatacara Teh Korea”, karya yang masih mendapat antusiasme masyarakat pencinta teh. Kedua, ia membuat metode khusus untuk menghasilkan jenis teh hijau yang disebut panyaro. Lalu ia mendirikan lembaga para pencinta teh Korea “Asosiasi Korea untuk Tatacara Teh”.

Hyodang juga untuk pertama kalinya menguak kisah hidup Biksu Cho-ui dari abad ke-19, yang juga adalah master teh Korea. Seperti Hyodang yang membangkitkan tradisi teh Korea pada saat itu, Hyodang berjasa atas restorasi di masa modern.
Pada tahun 1995 Intitut Panyaro yang dipimpin Chae Won-hwa mengadakan upacara kelulusan bagi para pelajar yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan khusus mengenai tatacara teh Korea.

Perkembangan Upacara Teh Korea Saat Ini

Upacara teh di zaman sekarang sebenarnya adalah restorasi dan kebangkitan dari budaya dan tatacara teh lama Korea. Dari yang serius dalam pengembalian nilai dan filosofi teh tradisional, pada tahun 1979, seorang master teh Korea, Myung Won dan putrinya Kim Mi-hee mengadakan penelitian dan konferensi akademis tentang budaya teh Korea. Lalu tahun 1980, ia mempraktikkan untuk pertama kalinya di depan publik tatacara dan prosedur upacara teh Korea di gedung Pusat Budaya Sejong, yakni tatacara teh istana, tatacara teh agama Buddha, tatacara teh menyambut tamu, dan tatacara teh harian. Pewaris tradisi yang direstorasi Myung Won adalah putri keduanya, Kim Eui-jung yang juga adalah master tatacara teh istana yang merupakan Aset Budaya Tak berbentuk nomor 27 Korea Selatan.

Dengan diketahuinya manfaat dan khasiat teh serta meningkatnya kesadaran tentang pelestarian budaya tradisional, semakin banyak kalangan masyarakat Korea yang mulai mempraktikkan tatacara teh tradisional.

Jenis-jenis Upacara Teh Korea

Para biksu Buddha di zaman Goryeo mengadakan upacara teh untuk keperluan persembahan keagamaan. Namun para bangsawan Konfusius (yangban) selanjutnya mengembangkan tatacara tersebut menjadi keindahan dan seni yang dapat dinikmati kalangan yang lebih luas.

Terdapat 15 jenis upacara teh penting yang diselenggarakan, namun yang paling umum adalah:
•Tatacara teh harian - tatacara minum teh harian yang dikembangkan dari zaman Dinasti Joseon.
•Tatacara teh khusus - tatacara minum teh yang diadakan untuk menyambut tamu negara dan acara pernikahan anggota keluarga kerajaan.
•Tatacara teh ratu - acara minum teh yang hanya dinikmati ratu, keluarga dan teman-temannya.

Malcha, bubuk teh hijau yang diasosiasikan dengan tatacara teh Jepang, juga digemari di Korea, terutama bagi para penganut Buddha. Konon, para biksu meminum teh malcha saat melakukan meditasi berhari-hari tanpa tidur. Malcha mengandung lebih banyak zat-zat bergizi dibanding teh biasa (ip-cha). Penikmat sejati teh disebut “da-in” (orang teh), yang mana menikmati manfaat dan filosofi kandungan teh. Dengan menyebarnya agama Kristen di Korea, di banyak kalangan masyarakat, tatacara teh sudah ditinggalkan.

Jenis teh dalam Upacara Teh Korea

Pertama kali upacara teh dipraktikkan, daun teh yang digunakan adalah teh hitam, sementara teh pu-erh yang disimpan lama, sangat terkenal di Tiongkok. Teh yang berusia lama sangat digemari di Korea, terutama teh Tiongkok, yang dikonsumsi para penghuni istana. Meskipun begitu, teh jarang disimpan lama. Orang Korea lebih menikmati teh segar yang baru dipetik. Pengimporan teh hijau untuk kegiatan religius Buddhisme turut memberi warna ragam teh dan tatacara teh ke Korea.

Jenis teh hijau sangat digemari seperti jenis jakseol dan jugro, lalu jenis lain seperti byeoksoryeong, cheonhachun, wujeon, dan okcheon. Selain itu ada pula minuman teh dari bahan lain seperti teh krisan, teh daun kesemek, teh gandum dan sebagainya yang dinikmati sepanjang tahun.

Rasa teh Korea terbagi atas rasa-rasa berbeda: pahit, manis, asin, asam, dan tajam. Wilayah Jeju terkenal akan tehnya yang asin dikarenakan pengaruh angin laut, sementara dari wilayah daratan semenanjung dipengaruhi faktor iklim, cara mengolah daun teh serta rasa air yang digunakan.

Tata Cara Upacara Teh Korea

Bagian utama dari tatacara teh korea adalah suasana yang ringan dan santai, dengan sedikit etika formal dan aturan baku, selingan pembicaraan ringan, lebih bebas dan tidak kaku dan kemudahan dalam menikmati berbagai jenis teh dan keramahtamahan tuan rumah.

Hal ini membuat desain rumah teh lebih bermacam-macam, juga penggunaan desain dan perangkat yang beragam, variasi pilihan teh, serta makanan ringan yang disajikan sesuai musim.

Umumnya air diambil dari sumber air terbaik dan pada zaman dahulu semua rumah teh terkenal memiliki sumber air murninya masing-masing. Air direbus dengan kayu api dan siap disajikan.

Upacara teh selalu diadakan untuk memperingati hari-hari penting seperti ulang tahun, hari-hari besar, reuni dengan teman lama juga dalam rangkaian meditasi. Karena teh yang digunakan adalah teh hijau, maka teh berdaun kecil jarang digunakan.

Dalam preparasinya, upacara minum teh Korea dilakukan di atas meja rendah dengan masing-masing tuan rumah dan tamu duduk di sisinya saling berhadapan. Tuan rumah pertama-tama akan membersihkan perangkat poci dan cawan, menghangatkan perangkat tersebut dengan air panas, menuangkan daun teh ke poci, lalu menuangkan air panas ke daun teh dan menuangkannya lagi kepada tamu sambil berbincang-bincang ringan. Sebelum dituangkan ke cawan, teh yang panas dibiarkan mendingin. Hal ini bergantung pada daun teh yang digunakan. Teh yang dipetik pada awal musim semi di bulan April akan didinginkan sampai suhu yang lebih rendah (60° - 65° C) daripada daun teh yang dipetik pada bulan Juni (70° - 75° C). Tamu harus menunggu sampai tuan rumah menikmati teh mereka dahulu sebelum meminum tehnya. Acara minum teh ini dapat memakan waktu berjam-jam, namun sangat terbuka dan santai, dan biasanya antara tuan rumah dan tamu akan dapat saling mengetahui lebih baik tentang masing-masing lewat percakapan yang menyenangkan. Tuan rumah akan membersihkan perangkat lagi saat acara minum teh selesai dan membiarkan perangkat teh berada di meja sepanjang tahun dan menutupnya dengan kain.

Peralatan Upacara Teh Korea

Upacara teh Korea mengikuti perubahan musim dan memakai peralatan dari keramik dan metal yang beragam. Upacara keagamaan turut berperan penting. Perangkat yang umum dipakai adalah peralatan dari batu, sementara di provinsi-provinsi yang memiliki tungku keramik, lebih banyak menggunakan keramik.

Sejarahnya mangkuk dan cawan tercipta juga untuk keperkuan upacara agama. Seladon, keramik hijau dan buncheong, keramik berukir untuk upacara teh Buddhisme; keramik putih untuk ritual Konfusianisme dan keramik yang lebih kasar untuk upacara shamanisme. Juga ada khusus yang diekspor ke Jepang yang dinamakan gohan chawan. Kecantikan tekstur permukaan kaca tipis (teknik glasir) sangat dikagumi dan ditiru. Keserempangan dari kreasi ini disebutkan untuk menambahkan kesan “kenyataan dalam momen kini” oleh para ahli teh.

Teknik glasir sangat kaya akan tekstur dan variasi warna yang dapat berubah-ubah berdasarkan musim dan pengaruh cahaya. Tanah liat berwarna cerah terutama dipilih untuk membuat seladon. Teknik khusus dalam glasir dipakai untuk meniru berbagai macam gambar seperti pohon bambu, batu-batuan di aliran sungai, batang-batang pohon, kulit manusia, detail pada mata macan, bunga persik sampai ilustrasi salju dan goresan elegan pada keramik putih.

Gaya keramik dan teknik glasir berbeda-beda dari zaman ke zaman. Desain lama masih dilestarikan dan ekspor ke Jepang masih signifikan dari akhir abad ke-16 sampai kini. Pengrajin keramik Korea seperti 2 bersaudara Yi Sukkwang dan Yi Gyeong memperkenalkan teknik yang dikenal dengan “gaya Hagi”. Keramik Joseon (Joseon Hagi) pun sangat terkenal karena bermutu tinggi.

Peralatan teh pada musim panas tersusun atas mangkuk katade yang berukuran tinggi 5 cm dan lebar 12 cm. Ukurannya dibuat memiliki permukaan terbuka maksimal untuk mendinginkan air mendidih. Air panas yang dituangkan ke mangkuk dibiarkan sedikit mendingin, lalu dituangkan ke poci. Air sengaja didinginkan karena menuangkan air yang terlalu panas dengan daun teh akan akan membuat rasa teh lebih pahit. Dengan kedua tangan, teh dituangkan ke dalam cawan-cawan bertutup, yang diletakkan di atas meja pernis. Teh diminum dengan mengangkat cawan menutupi mulut agar tidak terlihat. Teh yang disajikan pun dingin.

Perangkat minum teh musim gugur dan musim dingin terbagi atas mangkuk yang lebih tinggi dan ramping (irabo), yang dapat mempertahankan kehangatan. Biasanya berbentuk spiral, dangkal dan bibir yang tinggi. Daun teh dicampur air panas di mangkuk lalu dituang ke dalam poci yang dihangatkan kemudian baru dituangkan ke masing-masing cawan bertutup. Teh disajikan panas, kemudian dituangkan sedikit demi sedikit dari cawan ke cawan supaya rasa teh tidak terkonsentrasi pada satu cawan.

Tidak seperti perangkat teh Tionghoa, tak satupun perangkat teh korea yang dinilai memiliki bunyi musikal yang unik. Penilaian lebih diberikan untuk bentuknya yang alami, warna serta emosi yang dikandungnya.

Upacara Teh Korea

Darye adalah bentuk upacara teh tradisional yang dipraktikkan di Korea. Darye adalah etika minum teh atau tatacara minum teh yang telah diwariskan oleh nenek moyang bangsa Korea sejak ribuan tahun lalu.

Upacara teh Korea bermula dari upacara teh Tionghoa dari Tiongkok. Bagian terpenting dari tatacara teh ini adalah bahwa menikmati teh ala Korea dipraktikkan dalam suasana formal namun santai dan tenang.

Upacara teh korea selain dimaksudkan untuk menemukan ketenangan dan harmoni dalam cepat berubahnya masyarakat Korea, juga untuk meneruskan tradisi lama bangsa Korea.

Rekaman sejarah pertama tentang upacara teh Korea mencatat tentang persembahan teh kepada arwah nenek moyang yang dilakukan tahun 661 M kepada mendiang Raja Suro, pendiri kerajaan Geumgwan Gaya (42 M - 562 M). Catatan sejarah dari Dinasti Goryeo (918 - 1392) menyebutkan bahwa persembahan teh dipraktikkan di vihara bagi mendiang biksu-biksu utama.

Pada zaman Dinasti Joseon (1492 - 1910), keluarga istana Yi dan kaum bangsawan meminum teh dalam tatacara sederhana, yakni tatacara minum teh harian yang dinikmati pada hari-hari biasa, sementara tatacara teh khusus dijalankan untuk peristiwa-peristiwa tertentu. Istilah seperti ini hanya ditemukan di Korea.

Di akhir periode Dinasti Joseon, rakyat biasa mulai menjalankan tatacara teh untuk hari biasa dan upacara persembahan, mengikuti tatacara teh Tionghoa dalam kitab Tatacara Keluarga karya Zhu Xi.

Aliran-aliran Epistemologi

1.empirisme
Empirisme menganggap pengalaman sebagai sumber utama dalam pengetahuan. Maksud dalam pengalaman di sini ialah pengalaman lahir yang menyangkut dunia maupun pengalaman batin yang menyangkut pribadi manusia saja. John Locke mengenal pengetahuan yang dibentuk oleh gagasan yang beasal dari sensation yaitu penginderaan dunia luar. Di samping itu ada pengetahuan yang dibentuk oleh gagasan yang berasal dari reflexion yaitu pengalaman dari dalam jiwa karena pengolahan oleh sensation.

2.rasionalisme
Rasionalisme adalah aliran filsafat yang menganggap bahwa ukuran kebenaran bukanlah penginderaan akan tetapi intelek dan secara deduktif. Menurut rasionalisme, sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang mutlak, yaitu syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah.

3.intuisionisme
Secara umum yaitu suatu filsafat yang menganggap intuisi sebagai dasar atau sumber pengetahuan atau sekurang-kurangnya sebagai pengetahuan filsafati.

4.sensasionalisme
Secara etimologi, sensasionalisme berasal dari kata Latin sensatio yaitu merasa atau mencerap. Aliran ini merupakan salah satu bentuk dari empirisme yang menegaskan bahwa semua pengetahuan pada akhirnya diperoleh dengan cara sensasi-sensasi.

5.positivisme
Pertama-tama istilah positivisme disangkutkan dengan ajaran August Comte. Dikatakan bahwa bentuk tertinggi pengetahuan adalah deskripsi sederhana tentang gejala-gejala indrawi. Ajaran ini didasarkan pada perkembangan evolusioner yang disebut ”hukum tiga tahap”. Menurut Comte, perkembangan pikiran manusia terdiri dari tiga tahap. Pertama tahap teologis atau fiktif. Dalam tahap ini pengetahuan manusia didasarkan pada kepercayaan akan adanya penguasa adikodrati yang mengatur dan menggerakkan gejala-gejala alam. Manusia selalu berusaha untuk mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada. Kedua tahap metafisik atau abstrak. Dalam tahap ini pengetahuan dan asas-asas abstrak yang mengganti kedudukan kuasa-kuasa adikodrati. Metafisika merupakan pengetahuan puncak pada masa ini. Ketiga tahap positif atau ilmiah. Dalam tahap ini pengetahuan manusia berdasarkan atas mfakta-fakta. Berdasar pengamatan dan dengan penggunaan akalnya manusia dapat menentukan hubungan-hubungan persamaan dan atai urutan yang terdapat pada fakta-fakta. Tahap positif merupakan tahap dimana jiwa manusia sampai pada pengetahuan yang tidak lagi abstrak, tetapi pasti, jelas, dan bermanfaat.

6.skeptisisme
Pengetahuan yang bersal dari sikap keragu-raguan yaitu keragu-raguan terhadap induksi.

7.agnotisisme
Agnotisisme yaitu teori pengetahuan yang menegaskan bahwa manusia tidak mungkin memperoleh pengetahuan mengenai sesuatu pokok persoalan tertentu.

8.subjektivisme
Subjektivisme yaitu pembatasan pengatahuan pada subjek yang mengetahui yang mencakup keadaan pengindraan, perasaan dan kehendak. Kenyataan yang di luar diri subyek dapat disimpulkan dari keadaan subyektif.

9.objektivisme
Objektivisme yaitu aliran filsafat yang berpendirian bahwa segala sesuatu yang dipahami itu tidak tergantung pada orang yang memahami.

10.fenomenalisme
Fenomenalisme yaitu aliran yang menganggap pengetahuan terbatas pada fenomena. Fenomena ini mencakup (a) fenomena fisik atau totalitas obyek-obyek dari persepsi yang nyata atau yang mungkin; (b) obyek-obyek introspeksi. Ada dua anggapan dari fenomenalisme, yaitu : (a) mengingkari adanya kenyataan di balik gejala-gejala; (b) mengakui kenyataan dalam benda itu sendiri akan tetapi mengingkari dapatnya diketahui.

11.pragmatisme
Menurut C. S. Peice, aliran ini mengajarkan bahwa yang penting ialah pengaruh apa yang dilakukan sebuah ide dalam suatu rencana tindakan. Tidak dipersoalkan apa hakikat ide itu. Pengetahuan yang dimiliki manusia tidak lain dari gambaran yang diperoleh mengenai akibat yang akan dapat disaksikan.

12.saintisme
Saintisme adalah aliran pandangan yang menganggap ilmu sebagai satu-satunya jalan bagi pengetahuan manusia. Istilah saintisme dapat diartikan sebagai pandangan yang mengagungkan ilmu.