Rabu, 30 Desember 2009

HAK ATAS PENDIDIKAN SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA

Cita-cita luhur para pendiri republik ini, 60 tahun yang lalu, yang dipaterikan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia merupakan amanat bangsa yang harus ditunaikan. Cita-cita ini kemudian menjelma menjadi kewajiban konstitusi bagi negara untuk memenuhinya, sebagaimana yang tercantum di dalam UUD 1945 pasal 31, ayat 3: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur di dalam undang-undang”.

Kewajiban konstitusi ini secara khusus mengamanatkan kepada negara untuk memprioritaskan penyediaan anggaran pendidikan, sesuai dengan keluhuran cita-cita kemerdekaan dan pendirian negara. Kewajiban konstitusi tersebut dengan jelas dinyatakan di dalam UUD 1945, pasal 31, ayat 4: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”

Dihadapkan dengan realitas sosial historial masyarakat Indonesia di bidang pendidikan pada saat ini, maka cita-cita luhur tersebut bukannya semakin mendekat, bahkan nampak semakin menjauh. Demikian pula cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan sila kelima dari Pancasila, termasuk dalam keadilan pendidikan semakin memprihatinkan.

Meningkatnya beban masyarakat atas semakin mahalnya biaya pendidikan yang mengakibatkan tidak terjangkaunya pendidikan oleh sebagian anggota masyarakat telah menyebabkan terlantarnya anak-anak usia sekolah di beberapa daerah di Indonesia tanpa memperoleh pelayanan pendidikan yang memadai. Demikian pula, rusak dan tidak terawatnya gedung-gedung sekolah dasar menyebabkan anak-anak tidak dapat melakukan kegiatan belajar dengan tenang dan nyaman . Situasi ketidaktersediaan fasilitas pendidikan secara memadai ini lebih menyedihkan di daerah konflik maupun tertimpa bencana. Kebijakan pemerintah tentang evaluasi tahap akhir belajar, status guru dan kebijakan dan praktek-praktek komersialisasi perbukuan akhir-akhir ini semakin meresahkan masyarakat. Situasi seperti ini menyebabkan terjadinya problem availability, accessability, acceptability, dan adaptability dalam pendidikan.

Problem ketersediaan dan keterjangkauan akhir-akhir ini menjadi keprihatinan masyarakat luas, baik pada peringkat dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi. Data dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) 2005 yang dikutip oleh B. Herry Priyono, untuk periode 2003-2004, dari total 816.834 ruang kelas Sekolah Dasar (SD) negeri, sebanyak 417.050 (57,67 persen) rusak. Dari total 138.742 ruang kelas Sekolah Menengah Pertama (SMP) negeri, 22.621 (16,3 pesen) rusak. Pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), sebanyak 5,40 persen rusak (2.589 dari total 47.913 jumlah kelas). Tentu seperti statistik-statistik lainnya mengenai gejala buram di Indonesia, angka itu perlu dibaca secara konservatif.(Priyono, 2005)

Sedangkan tentang masalah masih tingginya angka putus sekolah, data dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbsng) Depdiknas menunjukkan bahwa pada tahun 2002 belum semua anak usia 7-15 tahun dapat menggunakan haknya untuk belajar di SD/MI dan SMP/MTs. 98,27 % anak usia 7-12 tahun (Usia SD/MI) yang berjumlah 25,636 juta anak yang bersekolah di SD/MI, dan baru 79,07 % dari seluruh anak usia 13-15 tahun (usia SMP/MTs) yang berjumlah 12,888 juta yang bersekolah di SMP/MTs . Menurut Dodi Handika, dapat dipastikan kendala utama masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya adalah besarnya biaya pendidikan, termasuk pendidikan dasar dan menengah. (Nandika, 2004:46)

Problem accessibility secara ekonomi, yang menjadi keprihatinan masyarakat luas, bahkan telah menyebabkan terjadinya marginalisasi kelompok miskin adalah menguatnya arus “privatisasi pendidikan” dengan melakukan “komodifikasi pendidikan” yang menyebabkan pendidikan menjadi semakin mahal, sehingga tidak terjangkau masyarakat luas, terutama kelompok miskin. Hal ini terjadi antara lain karena akibat dari legalnya komersialisasi pendidikan dengan modus operandinya. Negara sebagai pembendungan terhadap ekspansi kapitalisme global ke dunia pendidikan. Sehingga produk perundang-undangan yang semestinya bersifat melindungi untuk pemerataan pendidikan bagi warga negara, belum terumuskan secara efektif. (Priyono, op cit)

Sinyaleleman tentang munculnya neo-liberalisme dalam wajah pendidikan ini juga dinyatakan oleh Indira Permatasari, di dalam tulisannya yang bertajuk “Pendidikan Dasar Gratis Sudah Saatnya Diberlakukan”, ketika mengemukakan bahwa tidak jarang pemerintah mengeluarkan ungkapan bahwa masyarakat harus diberdayakan, termasuk membayar sendiri pendidikannya.(Kompas, 2005:39). Bahkan panel diskusi yang diselenggarakan Harian Kompas dalam rangka menyambut hari Pendidikan Nasional 2005 yang bertajuk “Menagih Tanggung Jawab Negara dalam Pemberdayaan (Pembeayaan) Pendidikan”, mensinyalir bahwa kini terdapat kecenderungan dunia pendidikan kita ramai-ramai terjebak ke arah komersialisasi. Pendidikan kini sudah menjadi sebuah komoditas yang di-“perjualbeli”-kan.(Kompas, 2005:37). Kecenderungan privatisasi, komersialisasi dan komodifikasi pendidikan ini sangat merugikan masyarakat luas, mejauhkan dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan berlawanan dengan konstitusi serta hakekat pendidikan sebagai hak asasi manusia yang harus dihormati, dipenuhi dan dilindungi oleh negara.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda